kembali ke kertas #90an

Hari ini karena mau pindahan, Aku bongkar lemari belajar dan nemu kertas-kertas buat binder yang lucu-lucu sekali. Pas jaman SD SMP kita keliling seantero tetangga, temen sekolah, temen LES, temen ngaji dengan tujuan cuma satu, tukeran kertas itu. Entah apa yang membuat hobi saling bertukar itu menjadi suatu kebiasaan yang menyenangkan. Anehnya kita pun merasa ketagihan dengan kegiatan itu.

Siapapun pencetus kegiatan saling tukar kertas itu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Karena dengan kegiatan seperti itu saya punya kenangan yang sangat indah. Kenangan heboh menukarkan secarik kertas dengan gambar-gambar lucunya, kenangan betapa susahnya menahan tangan ini untuk tak mencorat-coret kertas-kertas lucu itu dengan alasan sangat klise “sayang sekali kertas lucu itu untuk dicoratcoret”

 Kalau generasi 2000an sekarang kayaknya kertas2 bergambar lucu itu udah nggak ditukar2kan lagi, tapi dicorat coret. Nggak kenal lagi kalimat “Sayang kalau dicorat-coret. Tukeran aja yuk kita”.

Seri little tom adalah kertas yang paling susah dicari, kenapa? Karena semuanya banyak yang menyayangkan kertas seri tersebut ditukarkan. Alhasil, seri tersebut pun jarang beredar.

Nah, kertas yang bernilai tukar mahal adalah kertas bermerk harvest. Kertasnya tebel dan mengkilat. Harga satu kertas harvest sama dengan dua kertas binder yang biasa alias 2 kali kertas tipis.

Kalau aku punya seri lengkapnya hamtaro, lucu kan? 😀  nah koleksi2 kertas lucu ini mau aku simpan saja untuk anak2 perempuanku nanti, hehe 😀

Image

 

 

Cute Boy, You!

Oke, kali ini aku mau cerita sedikit tentang salah satu murid. Dia berusia 5 tahun, dulunya dia adalah muridku di labschool pendidikan karakter. Eh sekarang ketemu lagi dalam suasana dan tujuan yang berbeda. Anak ini sangat cerdas ditambah dengan selentingan jika anak berusia 4 hingga 6 tahun keinginan mencari taunya itu banyak banget, jadi kecerdasan dia pun semakin tampak. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan saat kegiatan belajar dimulai :

Bagaimana bumi berputar? Allah itu darimana? Mengapa ada laki2 dan perempuan ? ‪#‎anak5tahun

Mendengar semua pertanyaan itu, aku tersenyum mencoba menjawab semuanya dengan satu kalimat

“Semua itu ada karena Allah dan Allah ada di hati kita”

Tentang bumi, aku jelasin dengan memberikan dia pengetahuan nama-nama planet.

Lalu pertanyaan dia menjadi beranakpinak seperti ini:

“kalau planet jupiter yang naekin siapa miss ? Om iwan ya miss ? Kemarin om iwan maen ke rumah naek jupiter ‪ #‎anak5ahun‬

hahaha, aku tertawa kecil. itu bukan planet sayang, kalau jupiternya om iwan itu nama motor, kalau planet adanya di angkasa, nggak ada yang naekin tapi ada yang ngatur, ALLAH.

“Tolong miss, gambarin planet. aku mau lihat jupiter” Dia mengucapkan itu disela-sela belajar

Jelasin planet sambil gambar, pas gambar bumi dia protes

“kok kecil gambarnya, bumi kan luas, kalau gambarnya segini rumah aku dimana? “‪#‎anak5thn‬

Hening, kemudian dia mengambil pensil dan menggambar di dinding kamarnya bulatan besar.

“Miss, nih aku gambarin bumi yang gedeeee banget”

“No, it’s not good! Apakah udah ijin untuk menggambar di dinding kamar ke mama atau mbak ika (nama babysitter nya)? kalau belum, silahkan ijin dulu ya. jika diperbolehkan silahkan menggambar, jika belum dibolehin gambarnya di buku gambar saja.

“buku gambar kan kecil miss, gambar bumi tidak cukup”

*Big Huge, You are so cute boy”*

Hari ini kita belajar bahasa inggris nama binatang ya? are you ready? kataku dengan penuh semangat

Suatu pertanyaan yang membuat aku harus mengelus dada lagi, menelan ludah, dan pura-pura mengembangkan senyum.

Allah itu baik ya? Kok nggak boleh sih makan daging babi? Kenapa? Babi kan kayak chicken, chicken boleh dimakan” #anak5thun

“Ada binatang yang nggak boleh dimakan kita sebagai umat muslim, salah satunya babi. itu haram” jawabku dengan sangat bijak dan berharap dia tidak bertanya macam-macam lagi

Dan… tadaaa… dia bertanya lagi

” Haram itu apa? kenapa babi? hewan lain apa? Deer boleh dimakan nggak? Kalau Horse?”

Ingin sekali aku menjawab “Haram itu yang dilarang Allah, selain babi ada hewan ampibi yang nggak boleh dimakan juga”  tapi aku segera mengurungkan niat menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sudah hampir saja keluar dari mulut.

“kalau mau tau jawabannya, minggu depan latihan menulisnya di kerjakan ya, nanti miss kasih tau jawabannya, oke?”

kami berdua beradu dalam keheningan, menebak-nebak apa yang dia sedang pikirkan, Menunggu sabar apa yang akan keluar dari mulut mungilnya itu

“oke miss, sekalian minggu depan aku tanya ya tikus itu terbuat dari apa?”

“Braaaakkk! sepertinya tidak hanya dia yang mengerjakan latihan, aku pun harus cari referensi akurat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan cerdasnya itu.

“Oke, tapi janji ya latihannya dikerjakan”

Dia mengacungkan jari kelingkingnya, mengajak jari kelingkingku berpagut di kelingking kecilnya, mengisyaratkan sebuah perjanjian untuk mengerjakan tugas masing-masing.

okeey, see you next week my little brother, my cute boy 🙂

i’tikaf, perjalanan ruh dan jiwa :)

Mau ngepost tentang i’tikaf. sumbernya dari muslim.or.id :). Bisa disimak nih buat bekel 10 malam terakhir bulan ramadhan, hehe. semoga bermanfaat, semoga kita bisa bertemu dengan malam lailatul qadr yaa 🙂

Panduan I’tikaf Ramadhan

 

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a,dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

 

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa haditstersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

==========

Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo

sumber artikel : http://muslim.or.id/ramadhan/panduan-itikaf-ramadhan.html